Selasa, 13 Oktober 2015

agama dan masyarakat


AGAMA DAN MASYARAKAT
Ada 2 agama yang berkembang dalam kehidupan manusia
1. polytheisme.
2. monotheisme.
Ada juga yang membagi agama kedalam istilah agama yaitu
1. ardi
2. samawi
Dari 2 jenis itu juga berkembang pula istilah
1. agama tradisional
2. agama modern
Agama polytheisme adalah agama yang lahir karena intrepretasi akal pikiran manusia tentang keperluanya terhadap kekuatan supernatural yang kemudian diberi nama sebagi tuhan.
Pada dasarnya manusia mengenal tuhan melaluli asumsi asumsi dasar yang dia kembangakan terhadap kekuatan kekuatan yang melekat didalam tubuh benda benda. Benda benda itulah yang dianggap dan diyakini memilik kesakralan dan kekuatan ghaib.
Agama monotheisme adalah agama yang mengenal keesaan tuhan. Agama monotheisme juga bisa dinamakan agaman samawi yaitu agama langit. Agama langit disebut agama tauhid. Agama samawi mempunyai wahyu atau kitab suci yang diturunkan oleh tuhan dan mempunyai nabi dan rosul sebagai guideline kitab suci itu untuk menyebarkan muatan muatan ajaran kitab suci untuk membangun keagamaan dan peradaban manusia.[1]

Agama dan budaya
            Dalam proses penyebaran agama, masyarakat biasanya menerima 3 bentuk penilaian terhadap agama :
1.    Agama diterima sepenuhnya.
2.    Agama diterima sebagian-sebagian yang disesuikan dengan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.
3.      Agama ditolak sama sekali.
            Agama diterima secara sepenuhnya, maksudnya agama menjadi sesuatu yang dominan dalam kehidupan manusia. Karena diterima sepenuhnya dengan hati, nilai nilai agama tidak dicampur adukan antara tradisi yang sinkretisme dan ajaran ajaran subtansil agama. Ini berbeda dengan pengertian agama diterima sebagian. Dalam hal ini, ada pencampur adukan dalam pelaksanaan rutinitas kehidupan antara ajaran agama dan kebiasan tradisi lokal yang selama ini berlaku. Sikap yang lebih keras diperlihatan oleh sebagian warga masyarakat yang menolak ajaran agama sama sekali karena mereka lebih mencintai tradisi lokal yang telah berurat dan berakar.
            Dalam kehidupan masyarakat etnik indonesia, corak corak penerimaan itu dapat dilihat dengan jelas diberbagi suku, misalnya di masyarakat minangkabau ada 3 kelas atau kelompok penerimaan tersebut ;
1.      Kelompok pemurnian atau kelompok puripikasi agama. Mereka adalah kelompok konservatif yang sangat tegas dengan ajaran agama. Salah satu bukti sikap tegasnya adalah sikap tidak ada konpromistik terhadap perilaku jika dianggap bertentangan dengan sumber islam alquran dan assunah. Dimasyakat minangkabau waktu itu, kelompok ini diwakili oleh delapan orang haji. Mereka dipanggil dengan nama harimau delapan.
2.      Kelompok ini masih bersikap kompromistik. Terbukti, mereka berusaha menyesuaikan ajaran ajaran agama islam kedalam bahasa adat setempat. Dengan kata lain, antara substansial ajaran dan adat masih ada peluang untuk berdialog dan berinteraksi.
3.      Kelompok ini sama sekali tidak dapat menerima ajaran agama islam. Kelompok ini adalah kelompok yang sudah sebatin-seia-sekata dengan adat istiadatnya atau tradisi lokalnya. Mereka berikap menutup diri dari segala kemungkinan masuknya ajaran agama.
            Dari fenomena ini dapat dipahami beberapa hal. Pertama, proses penyebaran agama yang secara resmi sudah diakui oleh pemerintah belum terlaksana dengan holistik, atau belum sempurna, kedua, antara ajaran agama tampak seperti medan yang berbeda dan adakalanya bersebrangan. Meskipun ada pula ajaran agama yang bersesuaian atau disesuikan dengan tradisi tradisi lokal dari warga masyarakat setempat. Ketiga, setiap etnik pasti memiliki konsep, ajaran, agama, dan kepercayaan awalnya. Tentu saja agama diakui dan diberlakukan oleh pemerintah. Agama etnik adalah kepercayaan lokal, dan kepercayaan itu memberikan pandangan hidup (worldview) kepada para penganutnya.[2]
Agama dan Identitas
Identitas secara sederhana diartikan sebagai ciri khas yang menandakan suatu kelompok. Ciri khas itulah secara pisikologis yang membedakan antara konsep kelompok aku dan yang lainnya. Misalnya, suku minangkabau merupakan sebuah identitas yang sangat lengkap dengan ciri khas keminangkabauannya. Identitas suku minangkabau tentu saja tidak akan pernah sama dengan identitas suku batak. Mengapa? Karena kedua suku itu memiliki perbedaan, dan tentu saja, perbedaan itu karena ciri khas yang dimiliki oleh masing masing etnis. Iidentitas tidak saja ditandai oleh satu faktor seperti budaya atau etnik tetapi juga ditandai oleh faktor lainnya seperti bahasa agama dan kepemimpinan.[3]


[1] Silfia hananin, 2011. Menggali interelasi sosiologi dan agama, hal. 75
[2] Ibid, hal. 77
[3] Ibid, hal. 80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar