AGAMA DAN MASYARAKAT
Ada 2 agama yang
berkembang dalam kehidupan manusia
1. polytheisme.
2. monotheisme.
Ada juga yang
membagi agama kedalam istilah agama yaitu
1. ardi
2. samawi
Dari 2 jenis itu
juga berkembang pula istilah
1. agama
tradisional
2. agama modern
Agama
polytheisme adalah agama yang lahir karena intrepretasi akal pikiran manusia
tentang keperluanya terhadap kekuatan supernatural yang kemudian diberi nama
sebagi tuhan.
Pada dasarnya
manusia mengenal tuhan melaluli asumsi asumsi dasar yang dia kembangakan
terhadap kekuatan kekuatan yang melekat didalam tubuh benda benda. Benda benda
itulah yang dianggap dan diyakini memilik kesakralan dan kekuatan ghaib.
Agama
monotheisme adalah agama yang mengenal keesaan tuhan. Agama monotheisme juga
bisa dinamakan agaman samawi yaitu agama langit. Agama langit disebut agama
tauhid. Agama samawi mempunyai wahyu atau kitab suci yang diturunkan oleh tuhan
dan mempunyai nabi dan rosul sebagai guideline kitab suci itu untuk menyebarkan
muatan muatan ajaran kitab suci untuk membangun keagamaan dan peradaban
manusia.[1]
Agama dan budaya
Dalam proses penyebaran agama,
masyarakat biasanya menerima 3 bentuk penilaian terhadap agama :
1. Agama diterima sepenuhnya.
2. Agama diterima sebagian-sebagian yang disesuikan
dengan kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.
3.
Agama ditolak sama sekali.
Agama
diterima secara sepenuhnya, maksudnya agama menjadi sesuatu yang dominan dalam
kehidupan manusia. Karena diterima sepenuhnya dengan hati, nilai nilai agama
tidak dicampur adukan antara tradisi yang sinkretisme dan ajaran ajaran
subtansil agama. Ini berbeda dengan pengertian agama diterima sebagian. Dalam
hal ini, ada pencampur adukan dalam pelaksanaan rutinitas kehidupan antara
ajaran agama dan kebiasan tradisi lokal yang selama ini berlaku. Sikap yang
lebih keras diperlihatan oleh sebagian warga masyarakat yang menolak ajaran
agama sama sekali karena mereka lebih mencintai tradisi lokal yang telah
berurat dan berakar.
Dalam
kehidupan masyarakat etnik indonesia, corak corak penerimaan itu dapat dilihat
dengan jelas diberbagi suku, misalnya di masyarakat minangkabau ada 3 kelas
atau kelompok penerimaan tersebut ;
1.
Kelompok pemurnian atau kelompok puripikasi
agama. Mereka adalah kelompok konservatif yang sangat tegas dengan ajaran
agama. Salah satu bukti sikap tegasnya adalah sikap tidak ada konpromistik
terhadap perilaku jika dianggap bertentangan dengan sumber islam alquran dan
assunah. Dimasyakat minangkabau waktu itu, kelompok ini diwakili oleh delapan
orang haji. Mereka dipanggil dengan nama harimau delapan.
2.
Kelompok ini masih bersikap kompromistik.
Terbukti, mereka berusaha menyesuaikan ajaran ajaran agama islam kedalam bahasa
adat setempat. Dengan kata lain, antara substansial ajaran dan adat masih ada
peluang untuk berdialog dan berinteraksi.
3.
Kelompok ini sama sekali tidak dapat menerima
ajaran agama islam. Kelompok ini adalah kelompok yang sudah sebatin-seia-sekata
dengan adat istiadatnya atau tradisi lokalnya. Mereka berikap menutup diri dari
segala kemungkinan masuknya ajaran agama.
Dari
fenomena ini dapat dipahami beberapa hal. Pertama,
proses penyebaran agama yang secara resmi sudah diakui oleh pemerintah belum
terlaksana dengan holistik, atau belum sempurna, kedua, antara ajaran agama tampak seperti medan yang berbeda dan adakalanya
bersebrangan. Meskipun ada pula ajaran agama yang bersesuaian atau disesuikan
dengan tradisi tradisi lokal dari warga masyarakat setempat. Ketiga, setiap etnik pasti memiliki
konsep, ajaran, agama, dan kepercayaan awalnya. Tentu saja agama diakui dan
diberlakukan oleh pemerintah. Agama etnik adalah kepercayaan lokal, dan
kepercayaan itu memberikan pandangan hidup (worldview)
kepada para penganutnya.[2]
Agama dan
Identitas
Identitas secara
sederhana diartikan sebagai ciri khas yang menandakan suatu kelompok. Ciri khas
itulah secara pisikologis yang membedakan antara konsep kelompok aku dan yang
lainnya. Misalnya, suku minangkabau merupakan sebuah identitas yang sangat
lengkap dengan ciri khas keminangkabauannya. Identitas suku minangkabau tentu
saja tidak akan pernah sama dengan identitas suku batak. Mengapa? Karena kedua
suku itu memiliki perbedaan, dan tentu saja, perbedaan itu karena ciri khas
yang dimiliki oleh masing masing etnis. Iidentitas tidak saja ditandai oleh
satu faktor seperti budaya atau etnik tetapi juga ditandai oleh faktor lainnya
seperti bahasa agama dan kepemimpinan.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar